Friday, July 3, 2009

Adab Berhutang : Yang Menghutangkan Agar Memberi Keringanan Kepada Yang Berhutang

BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.

Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.

[1]. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.

[2]. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.

Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. : Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). [20]

[3]. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.

Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]

Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.

Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.